GUNAKANLAH VERSI DESKTOP AGAR MAXSIMAL
... ... ...

POLITISASI ISLAM JELANG PEMILU




        Perhelatan pesta demokrasi atau Pemilu  sudah di depan mata, sebagian tahapan Pemilu pun sudah mulai dijalankan, partai politik dan para politisinya juga disibukkan dengan menyusun agenda dan langkah-langkah untuk memenangkan pemilu, minimal mampu meraih suara rakyat agar bisa menduduki kursi legislatif atau eksekutif.
Fakta menunjukkan bahwa banyak partai dan politisi menggunakan simbol atau jargon-jargon Islami, yang terpampang dibaliho-baliho ataupun spanduk-spanduk yang ditampilkan, fenomena ini dapat kita temukan sendiri di Kalimantan Selatan yang penduduknya adalah mayoritas Islam.
Penggunaan simbol atau jargon ini tidak saja digunakan oleh partai-partai Islam tapi juga menjangkiti partai-partai nasionalis yang berusaha untuk melebarkan sayapnya agar bisa meraih basis pemilih partai-partai Islam. Partai-partai politik Islam juga sebaliknya, menggunakan ide-ide nasionalisme agar bisa meraih massa nasionalis. Dalam politik, hal ini memang sah-sah saja untuk dilakukan.
Dari sinilah mengapa masyarakat dituntut untuk betul-betul memahami isi partai yang hendak dipilih, dari visi dan misi yang dibawanya sampai kepada orang-orang yang dicalonkannya, agar jangan sampai salah pilih hanya karena melihat simbol-simbol atau jargon-jargon yang dibawanya.

    Fenomena ini memang memicu perbincangan menarik belakangan ini, menyusul kemenangan koalisi yang melibatkan partai-partai Islam di beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Media pun memberitakan kemenangan-kemenangan itu dengan perspektif seolah partai Islam memang sedang menanjak dan akan menjadi kekuatan yang dominan pada Pemilu 2009 nanti. Sehingga memicu kekhawatiran akan menurunnya perolehan suara dari partai-partai nasionalis.
Penggunaan simbol atau jargon Islami ini tentu hal yang membanggakan terlebih untuk daerah kita Kalsel yang masyarakatnya religius. Akan tetapi, apakah hal ini dibarengi dengan pemahaman politik Islam yang sebenarnya oleh partai atau pun para politisi tersebut? Ataukah hanya memanfaatkan Islam untuk meraih dukungan? Jika benar demikian, sungguh kita telah mengalami krisis politisi sejati, yang mampu memahami visi dan misi yang dibawanya.
    
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa politisi sama dengan politikus. Keduanya bermakna ahli politik, ahli kenegaraan dan orang yang berkecimpung dalam bidang politik.
Pada saat sekarang politisi dimaknai sebatas orang-orang yang bergelut dalam kekuasaan. Mulai dari kepala negara hingga para anggota dewan disebut sebagai politisi. Kenyataannya, mereka yang memproklamirkan diri sebagai politisi lebih banyak beraktivitas dengan memasang iklan politik di televisi dan media massa yang menelan hingga biaya ratusan miliar rupiah. Menengok rakyat di pasar hanya pada saat menjelang Pemilu atau Pilkada. Di gedung parlemen, bukan merupakan rahasia umum amplop bertebaran dimana-mana. Berita pengakuan mantan anggota DPR Agus Chondro tentang adanya suap untuk meloloskan Miranda Gultom menjadi pejabat Bank Indonesia (BI) dan terbongkarnya sogok dalam masalah hutan lindung, dapatlah kita dijadikan contoh diantara sekian banyak contoh lainnya.

    Belum lagi, gagalnya proses pengkaderan dalam tubuh partai. Tidaklah mengherankan, tolak ukur pemilihan hanyalah popularitas atau keterkenalan. Artis, pengusaha bahkan pelawak pun ramai-ramai menjelma menjadi politisi. Para mantan aktivis yang dulu berteriak lantang, kini membagi diri ke dalam berbagai partai yang ada. Pengamat pun mentrasformasi diri menjadi politikus.
Menyedihkan memang, banyak orang menjadi politisi hanya sekedar mengejar materi. Siapapun yang mengamati realitas akan tahu banyak sekali politisi yang saling berebut jabatan dan kekuasaan, segala cara pun dilakukan. Pikirannya hanyalah bagaimana menang dalam Pemilu/Pilkada. Berbagai sumber daya dikerahkan, sehingga tidak ubahnya seperti industri politik.

    Padahal dalam Islam, politik bermakna ri’ayah syuuni an-nas, yakni mengurusi urusan masyarakat. Berdasarkan hal ini para politisi mestinya adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam mengurusi urusan rakyat/umat, sehingga ketika berkecimpung dalam dunia politik, dia rela mengorbankan dirinya demi rakyat dan berjuang tanpa pamrih, semata-mata untuk meraih ridha Allah Swt. Seperti ketika kenaikan BBM dan barang tambang sebagai harta rakyat diserahkan kepada asing, maka dengan lantang menolaknya.

    Mereka juga adalah orang-orang yang memiliki cara berpikir untuk mengurusi pemerintahan dan urusan rakyat, memiliki sikap jiwa (nafsiyah) yang baik, memiliki keahlian dan kemampuan menjalankan perkara kenegaraan, menyelesaikan problematika kerakyatan yang tengah dihadapi dan menuntaskannya dengan penuh kebijaksanaan dan keadilan. Mereka juga adalah orang-orang yang mampu mengatur berbagai interaksi dengan masyarakat dan antar anggota masyarakat, yakni dengan terjun langsung ditengah masyarakat dan turut menyelesaikan problematika mereka, dan tidak lupa mengoreksi kebijakan penguasa yang menyakiti rakyat.
Jadi, politisi sejati adalah memfokuskan perhatiannya kepada urusan rakyat serta berjuang demi kebaikan dan keberkahan rakyat.


Mungkin Juga Anda Suka

Previous
Next Post »