
PLURALISME merupakan faham atau ajaran yang menekankan aspek kesamaan, kesatuan dan inklusivisme berbagai faham atau keyakinan dalam suatu komunitas masyarakat. Konsekuensinya, setiap individu atau kelompok dalam komunitas tersebut tidak dibenarkan memiliki pemahaman bahwa ajaran atau keyakinannya lah yang paling benar, paling unggul, atau paling mulia. Setiap ajaran atau faham memiliki “kelebihan” dan “kekurangan” sehingga semua bisa saling melengkapi. Pluralisme akan menjamin terciptanya keharmonisan dan menghindari klaim kebenaran mutlak dari salah satu kelompok dalam masyarakat. Karena menurut faham ini, rasa benar sendiri dan ekslusivisme merupakan biang terjadinya berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi di tengah-tengah masyarakat.
Apa yang dinyatakan oleh Diana L Eck ketika menjelaskan “Proyek Pluralisme” dalam bukunya A New Religion America : How A ”Christian Country” Has Become The World’s Most Religiuosly Diverse Nation (2002) bisa dikatakan sebagai representasi dari apa yang disebut dengan pluralisme. Dia mengatakan bahwa pluralisme bukan saja berbicara pada perbedaan, tapi juga pada komitmen, keterlibatan, dan partisipasi antar pemeluk agama dalam aktifitas keagamaan. Pluralisme juga pertukaran, dialog, dan perdebatan dalam masalah teologi. Pluralisme adalah ibarat orkes simfoni dan ansambel jazz. Pluralisme tidak hanya terbatas pada toleransi.
Dalam buku Fiqh Lintas Agama (2004), Nurcholis Madjid dkk menjadikan teologi pluralis sebagai landasan dalam pembaruan fiqh yang inklusif dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural. Teologi ekslusif yang ada selama ini dianggap tidak relevan lagi karena mengedepankan penolakan terhadap kelompok atau komunitas lain (Al Jawi, 2004).
Kalau diamati secara seksama, faham pluralisme menyimpan bahaya bagi kaum muslim, setidaknya karena beberapa hal. Pertama, mengaburkan konsep Islam sebagai ajaran keyakinan sekaligus solusi total setiap permasalahan kehidupan. Semua agama / pemahaman / doktrin / ideologi dianggap hanya berbeda secara kulit (aksiden), tapi tidak dengan isi (substansi). Terminologi Islam lebih dimaknai sebagai istilah yang secara generik berarti “pasrah kepada Tuhan” dan “baik terhadap sesama manusia”. Selama ajaran tersebut mengajarkan nilai-nilai kebaikan universal semacam ketuhanan, keadilan, kesetaraan, maka ajaran tersebut pada hakekatnya juga menuju keselamatan, sebagaimana halnya Islam. Padahal, Allah SWT secara eksplisit menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya Dien yang diridhoiNya (Lihat QS Ali Imran ; 19), dan ajaran lain sebagai kekufuran. Selain membahayakan aqidah, pemahaman seperti ini dapat menggiring kaum muslim untuk bersikap ”moderat” dalam memahami dan mengamalkan Islam. Ketika mereka harus terbuka dan mau menerima ajaran lain sebagai sebuah kebenaran, maka telah terjadi pencampuran antara yang haq dan yang bathil. Shalat dan puasa tetap dikerjakan, do’a bersama, nikah beda agama antara perempuan muslim dengan laki-laki non muslim juga dilakukan. Bahkan, di Yogyakarta ada satu tempat ibadah yang diperuntukkan bagi seluruh agama.
Dalam pespektif sosio-antropologis, beragama dan berkeyakinan merupakan perkara asasi. Beragama / berkeyakinan merupakan aktifitas kompleks ; melibatkan fisik sekaligus metafisik. Agama adalah panduan yang membutuhkan keyakinan. Relativisme kebenaran hanya membuat teks Al Qur’an tidak ubahnya seperti filsafat dan hipotesis ilmiah yang bersifat spekulatif. Ia akan selalu mengalami berbagai ”penyesuaian”.
Kedua, paham pluralisme menjadi sarana bagi ideologi kapitalisme untuk memaksa paham / ajaran lain agar menerima ide mereka. Pluralisme merupakan ”anak kandung” dari demokrasi. Yang menjadi standar kebenaran bukan lagi teks-teks ayat suci, tapi suara bersama dari masyarakat yang memiliki beragam latar belakang, kepercayaan, keyakinan, dan juga kepentingan. Padahal, penilaian manusia tidak bisa dijadikan standar dalam menilai benar-salah. Manusia memiliki banyak kekurangan dan berbagai keterbatasan. Kesepakatan apapun yang dibuat mengandung tingkat kekeliruan yang tinggi, meski sekilas terlihat baik. Berbagai konsensus yang dibuat manusia juga selalu mengalami modifikasi. Inilah bukti kelemahan manusia. Realitas juga menunjukkan bahwa penentu warna sebenarnya dari masyarakat adalah kepentingan segelintir fihak yang memiliki power serta akses tak terbatas pada lingkaran kekuasaan/pemerintahan. Terjadinya konflik –baik vertikal maupun horizontal- seringkali timbul karena adanya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh sekelompok orang tersebut. Sering terjadi, bentrokan antar pendukung partai, tokoh, organisasi, dst, dimulai dari sikap pragmatisme oleh para elit mereka, baik dalam kehidupan sosial maupun kancah politik. Minimnya pendidikan politik menjadikan konstituen dan simpatisan bersikap fanatis dan berpikiran sempit. Selain itu, kebijakan represip dan diskrimatif dari penguasa tidak jarang juga menjadi pemicu lahirnya social clash. Alhasil, terjadinya berbagai konflik lebih disebabkan oleh kondisi sturuktural sistemik dibandingkan faktor sosial kultural masyarakat. Artinya, konsep pluralisme untuk mencegah tindak kekerasan tidak relevan alias tidak nyambung. Selain itu, demokrasi menjadi alat barat untuk menjajah negera-negara dunia ketiga, terutama negeri-negeri Islam. Mereka tidak segan-segan mengintervensi bahkan melakukan invasi terhadap negara lain dengan alasan demokrasi dan demokratisasi.
Harus dibedakan antara pluralitas sebagai sebuah realitas faktual bangsa Indonesia –dan juga umat manusia- dengan pluralisme sebagai sebuah ajaran atau faham yang meniscayakan adanya kompromi kebenaran (singkretisme). Di dalam berbagai literatur yang ada, penggunaan istilah pluralitas dan pluralisme sering tumpang tindih. Padahal, pluralitas adalah sebuah realitas alamiah, sementara pluralisme merupakan perspektif khas terhadap realitas keragaman manusia. Pluralitas dalam artian adanya keanekaragaman ras, suku, golongan, dst, -baik secara fisik maupun non fisik-, merupakan sunatullah (lihat QS Al Hujurat : 13). Islam mengajarkan umatnya agar senantiasa menghormati orang lain, hatta yang berbeda agama dan keyakinan. Islam juga menganjurkan umatnya untuk bekerjasama dan tolong menolong dengan umat lain (Lihat QS Al Mumtahanah : 8), dalam batas-batas yang telah ditentukan. Rasulullah SAW bahkan mencela orang-orang yang menghina dan merendahkan kafir dzimmi. Selain itu kaum muslim tidak dibenarkan memaksa umat lain untuk menjadi penganut Islam (Lihat QS Al Kaafirun). Sejarah justru membuktikan banyak umat lain yang berbondong-bondong masuk Islam setelah mereka merasakan sendiri keagungan Islam dan kesejahetaraan hidup di bawah naungan pemerintahan Daulah Islam. Wallahu’alam bis showab.
*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 22 Juni 2007.