
Idul Fitri 1428 H baru saja meninggalkan kita. Setelah sebulan penuh melaksanakan berbagai aktifitas ibadah Ramadhan, dengan izin Nya –Insya Allah- kita menjadi manusia-manusia fitrah, suci laksana bayi yang baru lahir. Tentu saja predikat fitrah tersebut bukanlah sebutan yang miskin makna dan bersifat formalitas belaka. Sebagaimana halnya predikat lain yang disebutkan Allah SWT dalam Al Qur’an ataupun melalui Rasul Nya yang mulia, maka istilah fitrah juga merupakan terminologi yang mengandung makna mendalam yang selayaknya ditadabburi. Ia tidak diberikan kepada sembarang makhluk yang bernama manusia. Ia juga bukanlah “hadiah” yang secara cuma-cuma bisa didapatkan tanpa adanya washilah / ikhtiar yang menyertainya. Karenanya, bagi seorang muslim -yang ingin memperoleh predikat fitrah tersebut- mesti berusaha memahaminya secara benar. Tidak terbatas hanya jargon , apalagi sekedar slogan. Kesalahan persepsi mengenai fitrah ini akan membuat kebanyakan dari kaum muslim merasa sudah “suci”, sudah “tinggi”, sudah “sempurna” dan berbagai predikat “istimewa” lainnya. Padahal secara tidak sadar dia telah menggadaikan kefitrahannya. Fenomena tersebut banyak terjadi akhir-akhir ini.
Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan), dan ath-thabi’ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah SWT pada manusia. Para Mufassir –diantaranya Al-‘Ajili, Al-Jauzi, Al-Zamakhsyari- ketika menafsirkan QS Ar Rum ayat 30 yang artinya, “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Manyatakan bahwa fithrah Allah berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah SWT untuk cenderung pada tauhid dan din-al Islam sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya. (Labib, 2005).
Mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Ibnu Syihab, memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah SWT untuk beribadah kepada Nya (Lihat QS Adz-Dzariyat : 56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi (Labib, 2005).
Dengan mengacu pada penafsiran di atas, istilah fitrah merupakan keadaan dimana seorang manusia tidak kehilangan sifat insaniah / kemanusiaannya. Dia menyadari, bahwa dirinya adalah makhluk yang serba terbatas, dan konsekuensi dari hal tersebut akan membimbingnya pada pengakuan terhadap eksistensi Wajibul Wujud (ultimate reality) dibalik keberadaanya di dunia. Kelemahan manusia akan mengantarkannya kepada aktifitas penyembahana (ibadah) kepada Zat Yang Maha Kuasa.
Dengan potensi naluri dan akal yang diberikan, dia dapat mengamati berbagai fenomena dan realita disekitarnya, yang mengantarkannya kepada sebuah keyakinan dan kepastian akan kekuasaan Nya. Hal ini lah yang disebut dengan naluri beragama (gharizah at-tadayyun) yang secara built in dimiliki oleh setiap manusia yang dilahirkan ke dunia. Keyakinan inilah yang menentramkan setiap jiwa manusia yang fitrah. Keyakinan ini akan muncul ketika manusia telah melakukan aktifitas berfikir dengan benar. Disinilah, ia akan menemukan bahwa Islam lah dien yang sesuai dengan fitrahnya. Berbagai argumentasi dari ayat-ayat Nya –baik secara qauliyah maupun qauniyah- teramat kokoh dan tak terbantahkan kebenaran dan keshahihannya. Az Zamakhsyari dan An Nasafi bahkan menyatakan, “seandainya seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam sebagai agamanya.” Alhasil, fitrah adalah Islam. Kembali ke fitrah pada hakekatnya kembali ke Islam. Sifat kemanusiaan sesungguhnya adalah pengakuan terhadap keislaman ini. Setiap muslim yang fitrah adalah muslim yang menjalankan setiap aktifitas hidupnya sesuai dengan aturan dan larangan Allah SWT dan Rasul Nya. Kapanpun, dimanapun, dan dalam kondisi apapun.
Apabila sifat insaniah tersebut tidak menyatu dalam diri seorang muslim, maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari fitrah yang telah ditetapkan untuknya.
Lantas, kenapa banyak kaum muslim yang masih belum mencerminkan kefitrahan dirinya, meski telah berkali-kali menjalani bulan suci Ramadhan? Bukankah mereka seharusnya sudah terbiasa patuh dan tunduk kepada Rabb mereka karena sebulan penuh “magang” di kawah candradimuka yang bernama Ramadhan? Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu membelokkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim). Rasulullah juga bersabda yang artinya, “Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Kedua hadits di atas menjelaskan tentang kondisi awal manusia. Bahwa setiap manusia diciptakan dalam keadaan hanif (lurus) dan tidak condong pada kesesatan, serta memiliki fitrah, yaitu pengakuan terhadap Allah SWT. Penyimpangan terjadi ketika ia tertipu oleh bujuk rayu setan, mengikuti hawa nafsu dengan meninggalkan kebenaran. Selain itu faktor pendidikan yang diberikan oleh orang tua / lingkungan juga sangat mempengaruhi kepribadian dan kakarakter dari seorang manusia.
Ketika manusia lebih memententingkan hawa nafsu dengan mengesampingkan Islam sebagai panduan hidupnya, maka ia telah meninggalkan fitrah. Manusia yang tidak fitrah akan membuat berbagai kerusakan di muka bumi. Sebagai contoh, ketika seorang muslim tidak peduli akan kebersihan –baik lingkungan ataupun dirinya-, maka beragam bibit penyakit akan menyerangnya sekaligus orang-orang yang ada di sekitarnya. Terjadilah wabah yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Padahal kebersihan merupakan salah satu bagian terpenting dari ajaran Islam. Kita juga sangat prihatin dengan fenomena degradasi akhlak yang berakibat pada hancurnya moral bangsa. Saat ini, degradasi moral tersebut telah terjadi secara massif mendera bangsa kita. Kehidupan hedonis dan permisif ala barat begitu bangga dipraktekkan oleh para remaja muslim. Mereka lebih familiar dengan nama-nama macam Madonna, Britney Spears, Avril Lavigne, Tom Cruise, David Becham, dibanding dengan “selebritis Islam” yang menerangi peradaban dunia dengan cahaya Islam seperti Umar bin Khattab, Hamzah bin Abdul Muthalib, Imam Ahmad bin Hambal, Shalahuddin al Ayubi, Ibnu Khaldun, Sultan Muhammad II –sang penakluk Konstantinopel-, Muhammad Arsyad Al Banjari, Hassan Al Banna, Taqiyuddin an Nabhani, dan sederet nama fenomenal lainnya.
Akhirnya, muslim yang fitrah senantiasa akan menjadikan aturan Rabb nya sebagai panduan kehidupan. Tidak sedikitpun terbersit dalam hatinya untuk berpaling –mesti sejengkal- dari tuntunan Kalamullah. Karena sekecil apapun penyimpangan, maka dia telah keluar dari fitrah dirinya sebagai seorang hamba.
Mari kembali ke fitrah, kembali ke Islam. Wallahu’alam bis showab.
*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 25 dan 26 Oktober 2007.