GUNAKANLAH VERSI DESKTOP AGAR MAXSIMAL
... ... ...

MEWASPADAI AJARAN SESAT


MARAKNYA kemunculan ajaran sesat beberapa waktu terakhir ini mengindikasikan semakin goyahnya keyakinan sebagian kaum muslim terhadap ajaran Islam. Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang memang semakin tidak mudah untuk dijalani, ada sebagian kaum muslim menderita penyakit eskapis, berusaha menghindar dari kenyataan hidup yang begitu menghimpit. Harus diakui, mayoritas masyarakat saat ini mengalami depresi kolektif yang cukup akut. Penyakit ini menyerang ke berbagai strata masyarakat, dari rakyat biasa sampai golongan terpelajar dan orang-orang berdasi yang tinggal di apartemen mewah. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pengikut ajaran-ajaran “nyeleneh” tersebut berasal dari berbagai strata sosial.


Sebagai sebuah ajaran ruhani yang menawarkan kedamaian dan ketenangan jiwa, beragam aliran tersebut seakan mendapatkan momentumnya. Apalagi, tata-cara ibadah yang ditawarkan cukup praktis dan “meringankan”.


Keringnya nuansa ruhani dan spiritual dalam dunia yang begitu kompetitif dan eksploitatif sekarang ini menjadikan manusia semakin menjauh dari fitrah yang ada dalam dirinya. Dunia saat ini dipenuhi oleh manusia ego, manusia materi, dan manusia kapital. Sistem kehidupan yang ada menjadikan tolak ukur kehidupan manusia mengalami deviasi ekstrim, jauh menyimpang dari jalur yang seharusnya. Hasilnya, bukanlah ketenangan dan kebahagiaan yang didapatkan. Software manusia postmodern sekarang ini dipenuhi oleh keculasan, tipu muslihat, keraguan, keputusasaan. Alhasil, mereka menjadi stress, depresi, asosial, dan mudah untuk menjadi seorang eskapis. Celakanya, ditengah minimnya pemahaman mereka terhadap Dienul Islam, mereka mendapati berbagai ajaran-ajaran yang terasa lebih mudah, lebih menyenangkan, lengkap dengan janji-janji manis untuk menghadapi kehidupan kini dan yang akan datang.


Ternyata, berislam itu tiduk “sesulit” yang dibayangkan. Hanya shalat beberapa kali dalam sehari (atau menggunakan bahasa yang dapat difahami agar lebih khusu’), tidak harus menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadhan, Haji dan Umroh secara lokal, serta berbagai ritual yang diklaim merupakan wujud taqabrub ilallah yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Bukan hanya itu, aktivitas yang secara qoth’i merupakan bentuk kemaksiatan ternyata juga menjadi bagian dari ajaran sesat tersebut. Diantaranya ada seorang pemimpin aliran tarekat di Lombok Barat memperbolehkan menggauli santriwati dengan seizing suaminya, atau pelecehan seksual atas tameng agama yang terjadi di Bekasi dan Lombok Tengah. Na’udzubillahimindzalik!


Kondisi lingkungan yang terbuka dan cenderung liberal juga memiliki andil yang signifikan dalam memunculkan beragam aliran yang menyimpang. Atas nama demokrasi dan hak asasi manusia (HAM), tidak sedikit orang yang melakukan penyimpangan aqidah, dengan mengajak orang lain untuk mengikuti ajarannya. Akhirnya bermunculanlah “nabi” baru, sang pembawa “keselamatan”.


Kesalahan Penafsiran ?


Meski secara eksplisit menyimpang dari ajaran Islam –Fatwa haram MUI-, tidak sedikit diantara pencetus aliran sesat ini yang menggunakan nash-nash syara’ sebagai argumentasi bahwa ajaran mereka merupakan ajaran yang benar, paling tidak bukan kelompok sesat. Keberhasilan mereka dalam merekrut kader dimungkinkan karena mereka masih menggunakan label “Islam” sehingga seakan-akan ajaran baru ini merupakan ijtihad kontemporer yang layak mendapatkan perhatian. Tapi mereka lupa, Islam memiliki metode yang khas dalam instinbath (penggalian) hukum syariat melalui nash-nash yang ada.


Kaum muslim dari berbagai generasi -sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ulama sesudah generasi mereka- mewariskan begitu banyak khazanah intelektual yang menjadi petunjuk dan pedoman dalam perumusan hukum Islam terhadap setiap permasalahan. Mereka yang langsung mendapatkan bimbingan dari Rasulullah SAW, mujtahidin yang mukhlisin, mujaddid, al allamah yang hanif, tidak pernah merumuskan sebuah ajaran yang nyeleneh seperti yang diklaim oleh aliran sesat ini. Padahal, siapa yang meragukan kapasitas keimanan dan intelektual mereka. Meski tidak jarang terjadi perbedaan dalam hal penafsiran dan perkara tafsili (fiqh), mereka tetap dipersatukan oleh keimanan terhadap Dienul Islam. Perbedaan mereka masih dalam koridor ijtihad yang secara realitas dan syar’i memang memungkinkan terjadinya khilafiyah. Perkara aqidah (rukun iman) adalah subjek yang sudah established, tidak ada sedikitpun ada pena’wilan apalagi bantahan.


Langkah Antisipasi


Ahmad Moshaddeq –yang sudah mengaku bertobat- mengklaim jumlah pengikut al Qiyadah al Islamiyah telah mencapai lebih dari 40.000 orang. Suatu jumlah yang fantastis, sekaligus memprihatinkan. Sementara pencetus aliran “Kerajaan Tuhan”, Lia Aminuddin, baru saja menghirup udara bebas dan bertekad akan kembali menyebarkan ajarannya. Hal ini juga diperparah oleh fenomena bermunculannya aliran sesat lokal yang secara gigih terus melakukan perekrutan anggota. Alhasil, upaya dekonstruksi aqidah mengepung kita dari berbagai arah. Oleh sebab itu, mesti ada langkah preventif untuk membendungnya. Jangan sampai ada keluarga, kerabat, tetangga, atau kenalan kita yang menjadi korban berikutnya.


Selain harus kembali mendalami Islam secara benar, kita juga mesti melakukan aktifitas pengawasan kolektif terhadap berbagai aktifitas keagamaan yang menyimpang. Sebaliknya, kegiatan pengkajian Islam intensif –untuk membentengi aqidah umat- harus disemarakkan dan digalakkan dalam seluruh lapisan. Karena harus diakui, metode pengkajian yang dilakukan selama ini belum menjadikan kaum muslim memiliki aqidah yang kuat sekaligus mengenali agamanya secara komprehensif dan benar.


Selain mempererat tali silaturrahim antara individu, ormas, dan partai Islam, kita juga mesti waspada terhadap provokasi fihak-fihak yang tidak bertanggungjawab. Data di lapangan menunjukkan adanya skenario asing dibalik maraknya kemunculan aliran sesat ini. Hal ini salah satunya disimpulkan oleh hasil investigasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) berkaitan dengan maraknya kemunculan aliran sesat beberapa waktu lalu. Pihak asing memiliki segudang kepentingan di negeri ini. Persatuan umat Islam adalah mimpi buruk sekaligus ancaman laten yang mesti dicegah jauh-jauh hari.


Peran Negara


Sebagai entitas kekuasaan, pemerintah memiliki peran sangat besar sekaligus menjadi garda terdepan dalam membasmi kemaksiatan dan membentengi aqidah umat dari berbagai penyimpangan. Maraknya kemunculan ajaran yang menyimpang selama ini lebih disebabkan oleh lalainya penguasa negeri ini dalam melaksanakan berbagai hukum Islam yang terkait dengan kemaslahatan umat. Imam Al-mawardi dalam Kitabnya Al-Ahkam Ash-Shultaniyyah menyatakan bahwa tugas penguasa muslim (ulil amri) antara lain : Mereka adalah pihak yang akan menjalankan lima urusan kita ; menyelenggarakan shalat jum’at, jamaah, sholat Id, menjaga tapal batas negara, dan memperlakukan hudud (hukum Islam) (lihat juga Ibnu Qayyim al Jauziyah, Adab al-Hasan al-Bashri). Selain mendidik umat dengan penerapan Islam secara holistik, penguasa mesti menjatuhkan sanksi yang tegas, apabila upaya penyadaran menemui jalan buntu.


Imam al Ghazali juga pernah mengatakan : as sultoh (kekuasaan) adalah perisai, syariat (aturan) Islam adalah inti. Sesuatu tanpa inti adalah hampa, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki perisai akan hilang,.


Besarnya tanggung jawab penguasa ini dimungkinkan karena adanya kekuatan dan otoritas yang dimiliki oleh negara. Taqiyuddin an Nabhani menyatakan setidaknya ada 3 kekuatan (quwwah) yang dimiliki oleh pemerintah (negara), yaitu kekuatan politik (quwwah siyasiah), kekuatan ekonomi/materi (quwwah madiah), dan kekuatan militer (quwwah askariyah). Semua kekuatan tersebut berpadu dan menjadi junnah (perisai) bagi masyarakat yang hidup dalam wilayah negara tersebut. Wallahu’alam bis showab.



*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 12 dan 13 Nopember 2007.

Mungkin Juga Anda Suka

Previous
Next Post »