GUNAKANLAH VERSI DESKTOP AGAR MAXSIMAL
... ... ...

FORMALISASI SYARIAT ISLAM


BERAGAM wacana mengenai penegakan Syariat Islam –berikut berbagai aksi yang menuntut penerapannya- akhir-akhir ini begitu marak di tanah air kita. Berbagai kalangan, kelompok dan tokoh yang selama ini memiliki concern terhadap upaya penegakan Syariat Islam seakan-akan berlomba menyuarakannya. Boleh dikatakan, wacana penegakan Syariat Islam sekarang menjadi suara bersama sebagian besar elemen umat Islam. Sebagai contoh, dideklarasikannya Forum Umat Islam (FUI) oleh berbagai ormas Islam beberapa waktu lalu –dimana salah satu agenda besarnya adalah formalisasi Syariat Islam sebagai solusi permasalahan bangsa saat ini- merupakan bukti kerinduan umat akan kembalinya Islam ke tengah-tengah kehidupan mereka.

Berbagai ormas Islam yang dulu masih bergerak dan berjuang sendiri-sendiri, kini telah menyatukan suaranya dalam satu wadah organisasi. Karena mewakili hampir seluruh ormas dan kelompok Islam yang berpengaruh serta memiliki reputasi nasional, maka tidak salah kalau organisasi ini merupakan cerminan dari suara umat Islam secara keseluruhan.

Hal yang sangat menggembirakan adalah bahwa upaya tersebut merupakan hasil inisiasi kolektif dari berbagai ormas dan tokoh Islam yang mulai sadar akan urgensi dari penerapan Syariat Islam di tengah berbagai masalah yang sedang menghimpit bangsa ini. Bahwa beraneka permasalahahan yang datang silih berganti disebabkan oleh terpisahnya kaum muslimin dengan ajaran Islam, baik secara individual, maupun dalam kehidupan sosial. Karena itulah, perjuangan untuk menegakkan Syariat Islam merupakan agenda bersama yang harus diupayakan oleh seluruh elemen umat Islam.

Kerinduan Umat Terhadap Syariat

Kerinduan dan ghirah umat Islam untuk kembali keajaran agamanya secara umum disebabkan oleh dua hal. Pertama. Kesadaran internal umat Islam sendiri. Pasca tragedi 9/11, banyak kalangan –tak terkecuali umat Islam- yang kembali menengok ajaran agamanya. Stigma (pencitraan) negatif tentang Islam ternyata berhasil menumbuhkan minat berbagai kalangan untuk melihat lebih dekat apa dan bagaimana ajaran Islam.

Di tengah beragamnya variasi wacana yang menghias media, terlihat bagaimana upaya ini menghasilkan berbagai kajian / studi mengenai Islam di berbagai tempat. Islamic Centre ramai dikunjungi. Berbagai kegiatan yang menjadikan Islam sebagai isu utama, baik yang berskala nasional sampai yang bertaraf internasional kerap diadakan. Konferensi, simposium, seminar, talk show, dsb, yang membahas seputar masalah keislaman kelihatan sangat semarak. Tidak ketinggalan buku-buku yang bernafaskan Islam saat ini juga sangat diminati khalayak. Fenomena ini tidak hanya di negara-negara timur tengah dan negara yang penduduknya mayoritas muslim, tapi juga di negara-negara barat. Bahkan, berdasarkan survei yang pernah dilakukan, jumlah muallaf -terutama di Amerika dan Eropa- meningkat pesat

Terlepas dari apakah upaya tersebut merupakan sikap apologis kaum muslimin dalam merespon permasalahan global yang ada, yang pasti momentum tersebut telah melahirkan “berkah” tersendiri.

Kedua. Berbagai problematika aktual yang saat ini telah melanda dunia, terutama di negara yang mayoritas muslim, merupakan bukti yang nyata akan kegagalan sistem kehidupan yang diterapkan selama ini di tengah-tengah mereka. Keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, merupakan fenomena yang begitu akrab dengan kehidupan kaum muslimin. Berdasarkan data yang pernah dipublikasikan, hampir setengah dari penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Melihat realitas demografis yang ada, dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari mereka adalah umat Islam.

Faktor yang telah disebutkan di atas, ditambah dengan sikap represif dan despotik dari negara-negara adidaya terhadap Islam dan kaum muslimin, telah menyadarkan umat ini akan pentingnya sebuah identitas. Bukan hanya identitas yang bersifat “esensi” dan “substansi”, tapi identitas yang dapat memberikan warna dan pengaruh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan tersebut bisa dicapai, maka identitas tersebut mesti menjadi standar aturan dan rujukan yang bersifat mengikat yang mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ajaran Islam yang telah mengalami formalisasi dalam bentuk sistem dan aturan yang terlembagakan. Karena bagaimanapun, sebagai sebuah ajaran yang paripurna dan bersifat problem solving, Islam memang memiliki karakteristik harus “diformalkan”.

Hal ini juga diperkuat oleh hasil survey Tim Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dilakukan beberapa waktu lalu. Bahwa 80 persen lebih masyarakat Indonesia menghendaki diterapkannya syariat Islam dalam mengatur seluruh sendi kehidupan mereka. Selain itu, fenomena penerapan Syariat Islam –meski belum kaffah- di berbagai daerah telah membuktikan kuatnya hasrat masyarakat untuk kembali ke ajaran agamanya.

Potensi Penerapan Syariat

Seorang pakar hukum Universitas Padjdjaran (UNPAD), Prof. Otje Soemadiningrat merumuskan beberapa alasan bahwa syariat Islam saat ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia, yaitu : (1). Hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat yang beragama Islam khususnya di Indonesia. Hukum Islam berkembang bersamaan dengan masuknya Islam di kawasan ini. (2). Sebagai hukum yang hidup yang inheren dalam kehidupan umat Islam maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar mereka (sebagaimana yang terjadi pada hukum warisan kolonial). (3). Aturan-aturan dalam Al Qur’an dan Sunnah bersifat universal dan terjaga keutuhannya dengan cakupan bidang yang lengkap, yang secara konseptual dapat dikembangkan secara bersama-sama dan menyeluruh. (4). Selama perkembangan hukum saat ini, hukum nasional tidak mampu menjawab berbagai persoalan yang muncul khususnya berkaitan dengan tujuan membawa ummah kepada kebahagian hakiki. Berbagai kekhawatiran yang sering mengemuka tentang diterapkannya Syariat Islam tidak lebih merupakan sikap skeptis, pesimis, bahkan phobia yang terlalu dilebih-lebihkan.

Urgensi Islamisasi Sistem

Realitas menunjukkan bahwa nilai-nilai non Islam –terutama yang berasal dari barat- saat ini begitu mendominasi warna kehidupan di negeri-negeri Islam, tak terkecuali di negara kita. Meski tidak memiliki akar yang kuat, tapi nilai tersebut sering -kalau tidak bisa dikatakan selalu- menjadi trendsetter . Tidak sulit rasanya kita menjumpai remaja atau pemuda yang memiliki life style yang kebarat-baratan. Dari model rambut, produk fashion, sampai cara berfikir dan bersikap. Nyaris tidak ada perbedaan yang jelas antara mereka dengan rekan mereka yang ada di negara barat.

Di sini, faktor sistem –tanpa menafikan unsur lain- bisa dikatakan sebagai determinant element. Suksesnya Barat dalam mengintroduksi berbagai faham dan gaya hidup yang notabene bertentangan seratus delapanpuluh derajat dengan ajaran Islam, tidak lepas dari lemahnya sistem bernegara dan bermasyarakat–berikut berbagai subsistem yang ada di bawahnya- yang ada selama ini. Bukan karena peradaban/budaya mereka yang lebih unggul. Terbukti, berbagai penyakit sosial sedang mewabah di banyak negara barat karena gaya hidup mereka yang bertumpu pada sekulerisme dan kebebasan. Selain itu, berbagai upaya perbaikan yang bersifat individual sampai saat ini juga tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perkembangan yang berarti dalam menciptakan sebuah masyarakat yang islami. Kenyataannya, dominasi kehidupan ala barat yang serba materialistik semakin tidak terbendung. Ironisnya, sistem yang ada sekarang malah memberikan peluang besar bagi masuknya berbagai pengaruh asing yang merusak. Perilaku politik yang opurtunistik serta adanya liberalisasi yang merambah seluruh aspek kehidupan, secara perlahan telah mengamputasi peran pemerintah dalam melindungi masyarakat.

Untuk itulah, islamisasi sistem merupakan prasyarat mutlak dalam pembumian ajaran Islam, sekaligus garansi bagi terciptanya kehidupan islami di tengah-tengah masyarakat. Karenanya, perubahan secara mendasar dan paradigmatik harus diupayakan oleh seluruh fihak. Bukan hanya di level elit, tapi setiap elemen masyarakat harus berupaya memahami urgensitas penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Kesadaran yang berasal dari keinginan untuk tunduk kepada Allah SWT, sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah, diibadahi, dan ditaati seluruh aturan-aturanNya.

Khilafah, Bentuk Sistem Pemerintahan Dalam Islam

Penyelenggara negara merupakan otoritas tertinggi dalam pengambilan kebijakan. Merekalah yang memformulasikan berbagai sistem kehidupan dalam mengatur masyarakatnya, mencakup sistem politik/pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum (peradilan dan pembuktian), sistem sosial (pergaulan), sistem pendidikan, hubungan luar negeri, sistem pertahanan dan keamanan (militer), dsb. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil adalah mendirikan pemerintahan yang semua sistemnya bertumpu pada Islam. Sistem Pemerintahan dalam Islam disebut Khilafah (Imamah) (al-Amidi : 1971, Ibn Taimiyah : 1955, al-Qalqasyandi : 1964, Ibnu Abidin : 1994, al-Ghazali : 1993, An Nabhani : 2000) . Sistem ini berbeda sama sekali dengan sistem pemerintahan manapun yang ada saat ini (Zallum, 2002). Sistem ini bersifat global (transnasional). Konsep negara internasional tentu sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini dan masa yang akan datang. Fenomena yang menunjukkan hal tersebut diantaranya dengan lahirnya Eropa Bersatu / Uni Eropa, berbagai kerjasama ekonomi multilateral AFTA, NAFTA, APEC, dsb.

Bukanlah Perjuangan yang Ahistoris

Upaya memperjuangkan tegaknya Syariat Islam di Indonesia bukanlah perjuangan yang tidak memiliki landasan sejarah. Berbagai kesultanan Islam di Nusantara telah berdiri sejak abad ke-9 M. Para raja dan sultan saat itu telah menjadikan Islam sebagai asas pemerintahan dan melaksanakan hukum Islam di tengah-tengah masyarakatnya (Sunanto, 2005). Fakta yang jarang terungkap adalah bahwa Kekhilafahan Islam (Baik pada masa Abbasiyah maupun Ustmaniyah) memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Nusantara. Diantara pengemban dakwah Islam di Nusantara saat itu merupakan utusan langsung yang dikirim oleh Khalifah melalui amilnya. Misalnya pada tahun 808 H/1414 M pertama kali ulama utusan Sultan Muhammad I ke Pulau Jawa (yang kelak dikenal dengan nama Walisongo). Pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra Pasai serta pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah menunjukkan adanya hubungan struktural wilayah Nusantara waktu itu dengan Khilafah. Sementara itu, kelihatan bahwa Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat Khilafah Utsmaniyah di Turki (lihat Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia, 2007, HTI Press) Dari sekilas fakta di atas dapat disimpulkan bahwa Sistem Khilafah bukanlah perkara yang terlalu asing dalam sejarah bangsa kita. Sehingga perjuangan menegakkan Syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah sangat relevan, baik secara historis maupun dalam konteks kekinian. Wallahu’alam Bis Showab.

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Mata Banua, Edisi 23 Nopember 2007.

Mungkin Juga Anda Suka

Previous
Next Post »