GUNAKANLAH VERSI DESKTOP AGAR MAXSIMAL
... ... ...

MENGETUK NURANI PENGUASA


Kondisi ekonomi nasional yang morat marit menjadikan kehidupan masyarakat semakin sulit dan terhimpit. Bahkan, keadaan saat ini mengarah kepada resesi ekonomi yang berdampak pada semakin terpuruknya sektor riil yang notabene menjadi tulang punggung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks ini, keberpihakan birokrat terhadap rakyat kecil menjadi layak untuk dipertanyakan. Bagimana tidak, kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah lebih pro kalangan elit. Mulai dari pemberian (secara cuma-cuma) berbagai fasilitas dan insentif, sampai dalam bentuk rumusan berbagai paket regulasi. Dalam kasus BLBI misalnya, pemerintah menggelontorkan dana tunai sebesar Rp. 218,31 triliyun, ditambah dana dalam bentuk obligasi rekap yang mencapai Rp 427,46 triliyun. Jumlah total nominal BLBI, program penjaminan, dan obligasi rekap yang menjadi utang baru rakyat Indonesia mencapai Rp 655,75 triliyun (Rosadi, 2008). Suatu jumlah fantastis, sekaligus mengerikan ! Utang ini akan terus bertambah karena adanya beban bunga obligasi yang cukup besar. Pemerintah, melalui APBN –yang tentu sebagian besar dananya berasal dari rakyat- mesti membayar cicilan utang berikut bunganya setiap tahun kepada para kreditor.

Alhasil, pembiayaan sektor-sektor strategis untuk rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dst, harus mengalami “penyesuaian” demi menyelamatkan anggaran.

***

Adalah sebuah ironi, apabila negeri yang kaya raya ini dihuni oleh jutaan rakyat miskin. Tapi, itulah yang terjadi. Kesejahteraan yang diidam-idamkan, perlahan tapi pasti, hanya menjadi impian kolektif yang entah sampai kapan dapat terealisasi. Berbagai tragedi datang silih berganti. Kita tentu terhenyak ketika masih ada penduduk negeri ini yang harus meregang nyawa karena tidak makan. Ada juga yang keburu meninggal karena masalah administratif di rumah sakit.

Alangkah sedih menyaksikan ibu-ibu antre minyak tanah sampai berhari-hari. Sementara harga kebutuhan pokok pun terus melambung, bahkan hanya dalam hitungan jam. Karena ketiadaan uang untuk membeli makanan, nasi basi pun terpaksa dijadikan pengganjal perut. Buruknya kualitas kesehatan, membuat berbagai penyakit menyeruak ke permukaan. Orang tua dari anak-anak yang kurus kering karena kurang gizi, hanya bisa meratap dengan asa yang masih tersisa. Berharap ada uluran tangan dermawan yang tersentuh hatinya. Berbagai bencana –yang kebanyakan disebabkan oleh kesalahan kebijakan- seakan melengkapi derita mereka.

Mereka yang mencari nafkah di pinggir-pinggir jalan, harus rela angkat kaki karena dianggap mengganggu keindahan kota. Rumah milik warga yang berada di kolong-kolong jembatan juga mengalami hal yang serupa. Pembangunan ternyata menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Para tenaga kerja di luar negeri terus mendapat perlakuan buruk, sementara pemerintah seperti tidak memiliki daya untuk mencegahnya.

Tersendatnya pasokan bahan bakar membuat listrik byar pet. Anehnya, ini terjadi di wilayah yang kaya akan sumber daya pembangkit listrik. Sementara itu, langkanya bahan bakar karena buruknya sistem pengelolaan yang ada membuat nelayan tidak bisa melaut, sopir taksi juga terpaksa menaikkan tarif, bahkan tidak sedikit usaha kecil yang gukung tikar akibat tingginya biaya produksi.

Di tengah keadaan yang semakin menghimpit tersebut, tersiar kabar kurang sedap. Pemerintah berencana melakukan swastanisasi PLN dengan alasan meningkatkan efisiensi. PLN akan dijual dengan cara di unbundling (dipecah-pecah) baik secara vertikal maupun horizontal. Ini merupakan bagian dari program penjualan BUMN yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah. Padahal, hal tersebut hanyalah upaya lepas tangan pemerintah dalam pelayanan sektor publik. Siapapun tidak akan sulit memahami bahwa swastanisasi akan membuat konsumen (baca : rakyat) membayar lebih. Dengan alasan mutu, tarif bisa “disesuaikan” sewaktu-waktu.

Terjadinya defisit anggaran pada APBN, termasuk situasi internasional dengan terus melambungnya harga minyak dunia, mengharuskan pemerintah untuk mengencangkan ikat pinggang. Efisiensi merupakan hal yang urgen dilakukan agar pembangunan bisa terus berjalan. Disinilah, semakin terlihat ketidakberfihakan para pengambil kebijakan terhadap rakyat. Dr Hendri Saparini, Direktur ECONIT Advisory Group, dalam sebuah diskusi di Jakarta mengatakan bahwa pemerintah kemungkinan besar akan mengambil kebijakan tidak populis, yaitu menaikkan harga BBM. Sementara masyarakat dikondisikan agar “terpaksa” menerima kebijakan tersebut. Celakanya, ternyata ada saja tokoh yang mendukung kebijakan yang sangat menyakitkan ini. (Banjarmasin Post, 23/08/2008).

Sesungguhnya, masih banyak realitas yang menunjukkan ketidakpedulian penguasa negeri ini –terutama tim ekonomi- terhadap rakyat. Sebaliknya, para konglomerat hitam dan kapitalis asing yang rakus terus mendapatkan perlakuan istimewa. Paradigma kapitalisme dalam mengelola negara menjadikan pengambil kebijakan kehilangan kepekaan terhadap penderitaan rakyat. Haruskah ada bencana yang lebih besar lagi agar mereka sadar ? Semoga saja tidak.

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik Opini Harian Banjarmasin Post, Edisi 31 Maret 2008

Mungkin Juga Anda Suka

Previous
Next Post »