Baru-baru ini diberbagai media massa baik koran dan televisi ramai sekali diberitakan tentang pernikahan artis papan atas Indonesia Bunga Citra Lestari (BCL) dengan Ashraf Sinclair bintang film dari Malaysia, yang konon kabarnya menghabiskan anggaran kurang lebih sekitar Rp 2 milyar, ini adalah angka yang cukup fantastis bagi rakyat Indonesia.
Pernikahan antara BCL dan Asraf ini juga merupakan pernikahan akbar untuk ukuran selebritis Indonesia, malah ada yang membandingkan dengan pernikahan artis penyanyi Malaysia papan atas Siti Nurhaliza.
Namun ditengah kemegahan dan kemewahan ini, pada saat yang sama para warga korban lumpur Lapindo yang selama ini hidup dipengungsian, menuntut dipenuhinya ganti kerugian kepada pihak Lapindo yang sampai saat ini baru dibayar 20 persen oleh pihak perusahaan. Sungguh ironis memang, disatu sisi hidup dalam kemewahan dan bergelimang harta, namun yang lain hidup penuh penderitaan bahkan ada yang sampai mengalami gangguan jiwa.
Sejatinya pernikahan adalah peristiwa dimana ada rasa haru, senang dan bahagia bagi mempelai dan pihak keluarga, terlebih hal ini dipandang sebagai babak baru bagi pasangan yang menikah dalam mengarungi kehidupannya. Di hari yang bersejarah itu tentu tidak ada yang membayangkan bahkan berharap jika bahtera rumah tangga itu akan diterpa badai, dan kandas ditengah jalan. Sehingga alih-alih mendapatkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah, kehidupan rumah tangga justru seperti neraka didunia, dimana seluruh penghuninya merasa tersiksa.
Demikianlah banyak potret kehidupan rumah tangga masa kini yang manis dan megahnya hanya tinggal kenangan di pelaminan. Sementara rumah tangga yang dibangun hanya bertahan seumur jagung. Atau pun kalau terpaksa dipertahankan hanya menyisakan sedih berkepanjangan. Anak pun menjadi korban. Beragam konflik rumah tangga pun bermunculan, dari masalah perselingkuhan, materi, egoisme pasangan, dan lain sebagainya, dijadikan alasan terjadinya perceraian.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya penyebab semua kegagalan rumah tangga sangat dipengaruhi oleh tatanan kehidupan kapitalis sekuler dimasyarakat. Orientasi hidup hanya didasarkan pada materi, manfaat dan kebebasan individu.
Dua kalimat syahadat yang diikrarkan pada saat pernikahan hanya dijadikan sekedar simbol, tapi realisasi dalam kehidupan tetap terjebak dalam pola kehidupan yang kapitalis sekuler. Agama hanya dijadikan ibadah mahdhoh semata (Shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain).
Inilah yang terjadi jika masyarakat tidak mengenal aqidah Islam dan tidak menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam setiap kehidupannya, sehingga terjebak dalam tatanan kapitalis sekuler. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al-Kitab serta mengingkari sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian diantara kamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat nanti mereka akan dilemparkan pada siksa yang amat keras.” (TQS Al-Baqarah: 85).
Sekularismelah yang menjadikan kaum muslim tidak lagi mengenal aqidah Islam secara sempurna, kalau pun ada pastilah akan kesulitan dalam mewujudkannya. Hanya segelintir orang saja yang betul-betul yakin dan berusaha memperjuangkan kebenaran aqidah Islam.
Tidak sempurnanya penerapan aqidah Islam dalam kehidupan terlihat dari masih diterapkannya hukum-hukum yang tidak Islami dalam mengatur interaksi dimasyarakat (keluarga, sosial, ekonomi, hukum, politik dan pemerintahan), padahal hukum tersebut bersumber dari akal manusia yang sangat terbatas bukan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kehidupan rumah tangga seharusnya ditata dengan keimanan, bukan didominasi oleh tradisi, adat dan pola hidup sekuler. Suami istri semestinya saling bahu-membahu untuk meningkatkan amalnya kepada Allah dan meraih ridho Ilahi. Ketika ada problem maka diselesaikan dengan cara yang Islami, bukan dengan emosi dan hawa nafsu. Sebagaimana firman-Nya: “Bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, jika kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (TQS an-Nisa’ : 19).
Itulah sebabnya Taqiyuddin an-Nabhani dalam bukunya Sistem Pergaulan Dalam Islam (An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam) pada bagian mukadimahnya menyatakan tidak adanya pemahaman akan perbedaan antara peradaban Islam dan peradaban Barat telah melahirkan sikap mentransfer dan taklid pada peradapan Barat. Banyak kaum Muslim yang mencoba mentrasfer tanpa berfikir, persis seperti orang yang menyalin naskah dengan menulis seluruh kata dan huruf yang ada. Sebagian di antara mereka bertaqlid pada peradaban tersebut dengan cara mengambil pemahaman dan tolak-ukur Barat tanpa mengkaji berbagai latar belakang dan akibatnya. Inilah penyebab mengapa kemudian sistem kehidupan dimasyarakat terlebih kaum Muslimin di dominasi oleh sistem kehidupan kapitalisme yang didasarkan pada pemisahan agama dari kehidupan yakni sekularisme.
Disinilah urgensinya mengapa Islam mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat. Inilah mengapa ketika ingin mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah, maka harus pula didukung oleh sistem kehidupan yang berlandaskan kepada Islam, yakni dengan kembali kepada aturan-Nya, insya Allah tujuan tersebut akan mudah tercapai.
Alhasil satu-satunya cara mewujudkan semua itu adalah dengan hidup dibawah naungan Daulah Khilafah. Karena melalui Daulah inilah, hukum-hukum Islam bisa terjamin pelaksanaannya. Tinggal kemauan kita untuk memperjuangkannya. Wallahu a’lam bi ash-shawab.