GUNAKANLAH VERSI DESKTOP AGAR MAXSIMAL
... ... ...

STRUKTUR NEGARA KHILAFAH (Selayang Pandang Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah)




    Keraguan akan kembalinya sistem pemerintahan Islam (di kitab-kitab fiqih disebut sebagai Khilafah) perlahan mulai luntur bahkan sirna. Kondisi aktual saat ini semakin menunjukkan bahwa perjuangan untuk mendirikan Khilafah bukanlah mimpi di siang bolong, igauan orang yang tidak waras, ahistoris, utopis, dan sebutan-sebutan pejoratif lainnya. Ketika pasar finansial dunia bergoncang hebat, kepercayaan terhadap kapitalisme sebagai end of history –meminjam istilah Francis Fukuyama- sudah tidak rasional lagi. Saat ini, umat manusia membutuhkan sistem alternatif yang lebih mampu menjamin hajat hidup mereka, baik secara personal maupun komunal.
Tidak heran, National Intelligence Council’s (NIC) dalam laporannya yang berjudul “Mapping the Global Future” membuat prediksi masa depan dunia di tahun 2020 dimana salah satunya adalah A New Chaliphate, berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global barat. Apabila orang-orang non muslim saja percaya akan tegaknya Khilafah, maka sungguh merupakan perkara aneh apabila ada sebagian umat Islam yang meragukannya, lebih-lebih menjadi penghalang bagi penegakannya.
    
    Sementara itu, kesiapan bagi tegaknya Khilafah terlihat dengan telah tersedianya teks-teks normatif berupa karya dari beberapa ulama mutaakhirin dalam bidang hukm (pemerintahan). Hasil ijtihad mereka menjadi semacam software sekaligus blue print yang siap digunakan sewaktu Khilafah telah berdiri.
Salah satu karya fenomenal tersebut adalah Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilafah, fi al Hukmi wal Idarah (Struktur Negara Khilafah dalam Pemerintahan dan Administrasi) yang ditulis oleh para ulama Hizbut Tahrir. Kitab ini merupakan penyempurnaan dari kitab sebelumnya, Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam) buah karya seorang mujtahid mutlak di abad 20 ini, al allamah Taqiyuddin an Nabhani.
Paralel dengan judulnya, kitab yang setelah diterjemahkan setebal 294 halaman ini merupakan penjelasan terperinci dan praktis tentang berbagai hal yang terkait dengan Negara Khilafah –yang InsyaAllah sebentar lagi akan hadir di tengah-tengah kita-, dilihat dari segi struktur pemerintahan maupun administrasinya.
    
    Menurut penulisnya, isi kitab ini dihasilkan dari penggalian hukum (istinbath) dan penelusuran dalil (istidlal) yang sahih, yang mampu menentramkan hati dan menyinari dada (hal 11). Ini misalnya terlihat dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits shahih yang menyertai setiap point pembahasan. Alhasil, kitab ini sangat layak untuk menjadi rujukan bagi kaum muslim.
Muqaddimah kitab ini dimulai dengan pembahasan mengenai wajibnya Khilafah dan perbedaan Sistem Khilafah dengan sistem pemerintahan yang ada atau pernah ada di dunia. Pembahasan awal ini dirasa tepat mengingat Khilafah merupakan sistem yang khas, bukan varian apalagi sempalan sistem pemerintahan manapun. Sebelum masuk lebih jauh, berbagai keraguan (syubhat) tentang Khilafah harus terlebih dahulu dibersihkan. Dengan menggunakan analisis terhadap fakta, maka disimpulkan bahwa Khilafah bukanlah sistem kerajaan, sistem imperium, sistem federasi, sistem republik, dan sistem demokrasi (hal 20-28).
Perbedaan ini tidak terbatas pada bentuk, tapi juga content (isi). Perbedaan ini mencakup asas yang mendasarinya, pemikiran, pemahaman dan standar yang digunakan, konstitusi, UU serta produk hukum yang dihasilkan.

    Terkait mengenai wajibnya Khilafah, ada 3 jenis dalil yang digunakan, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijmak sahabat. Ketiga jenis dalil ini merupakan nash syar’i yang disepakati oleh sebagian besar ulama.
Meski Al Qur’an tidak menyebutkan secara tekstual bentuk sistem pemerintahan dalam Islam, kalimat 
“kewajiban memutuskan perkara menurut apa yang Allah turunkan” (lihat QS 5 : 48, 49) menunjukkan bahwa kaum muslim mesti memiliki kekuasaan untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan kehidupan mereka. Dengan melakukan eksplorasi sekaligus elaborasi berbagai hadits shahih plus kesepakatan sahabat (ijmak), maka disimpulkan bahwa khalifah adalah eksekutor (pelaksana) berbagai hukum syariat dalam perkara hukmi (pemerintahan).

    Dengan penelitian dan pendalaman terhadap nash-nash yang berkaitan dengan struktur negara, maka struktur Negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasinya adalah sebagai berikut : 1. Khalifah. 2. Mu’awin at-Tafwidh (Wuzara’ at-Tafwidh). 3. Wuzara’ at-Tanfidz. 4. Para wali. 5. Amir al-Jihad. 6. Keamanan Dalam Negeri. 7. Urusan Luar Negeri. 8. Industri. 9. Peradilan. 10. Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum). 11. Baitul Mal. 12. Lembaga Informasi, dan 13. Majelis Umat (syura dan Muhasabah). (Hal. 29).
Karena inti dari sistem Khilafah adalah khalifah, maka penjelasan point ini menempati porsi paling besar (hal 31-89).
Khalifah adalah wakil umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah. Alhasil, posisi umat/rakyat di sini teramat penting karena mereka memiliki hak sekaligus kewajiban untuk membai’at seorang Khalifah. Secara syar’i, proses pembai’atan mesti didasarkan pada keridhaan alias tidak ada intimidasi ataupun cara-cara politik kotor yang sering kita jumpai dalam sistem pemerintahan otoriter maupun demokrasi.
Khalifah, sebagaimana posisi-posisi lain dalam sistem pemerintahan Islam, bukanlah posisi “basah”. Mengingat, khalifah memiliki tanggungjawab yang teramat berat, baik secara horizontal (kepada umat) maupun vertikal (kepada Allah SWT). Selain, ia harus memenuhi 7 syarat legal (in’iqad), yaitu muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka, dan memiliki kemampuan dalam menjalankan amanah Kekhilafahan.

    Sebagai sebuah pembahasan yang bersifat praktis sekaligus terperinci, kitab ini mencantumkan perkara-perkara teknis tentang metode pengangkatan sekaligus pembaiatan khalifah, wewenang khalifah, masa kepemimpinan, batas waktu pengangkatan, pembatasan jumlah calon, sampai tata cara pemecatan dan amir sementara. Setiap point dijelaskan secara argumentatif berlandaskan dalil-dalil syara yang ada.
Karena besarnya tanggungjawab dan wilayah kerja yang teramat luas, khalifah akan melakukan proses pendelegasian wewenang kepada para mu’awin (pembantu khalifah), baik mu’awin at tafwidh (wuzara’ at- Tafwidh) maupun wuzara’ at-Tanfidz.
Adalah sebuah kekeliruan apabila mengasosiasikan wuzara’ dengan jabatan tertentu pada sistem pemerintahan lain, seperti menteri dalam sistem demokrasi. Meski dalam beberapa perkara terdapat kemiripan, tapi lebih banyak lagi hal yang membedakannya. Hal ini juga berlaku untuk jabatan-jabatan lainnya seperti wali, amirul jihad, Majelis umat, dsb. Sebagai contoh, majelis umat merupakan perwakilan/representasi dari masyarakat dalam memberikan pendapat dan nasehat tentang berbagai urusan kepada khalifah (hal.247). Hanya saja, ia tidak berhak untuk memutuskan perkara tertentu yang terkait dengan aktifitas pemerintahan, atau membatalkan keputusan pemerintah (khalifah), apalagi meng-impeach (pemakzulan), seperti lazim ditemui pada realitas parlemen di sistem demokrasi.
Melengkapi kitab ini, pembahasan mengenai bendera dan panji negara serta slogan (nasyid) juga disertakan. Nama bendera kaum muslim adalah al-Liwa’ dan ar-Rayah (hal. 285). Selain itu, penggunaan slogan/yel-yel juga dibolehkan terutama dalam kondisi peperangan dan hubungan luar negeri. Wallahu’alam bis showab.


Mungkin Juga Anda Suka

Previous
Next Post »