
Enam anak balita di kabupaten HSU menderita gizi buruk, satu diantaranya meninggal dunia.Tak hanya itu, sekitar 755 balita didaerah ini juga dinyatakan berada di Bawah Garis Merah (BGM) alias gizi kurang (Radar Banjarmasin 17/3/08). Sementara itu, ratusan –atau bahkan ribuan- balita diseluruh daerah di Indonesia juga mengalami nasib yang sama. Jumlah penderita busung lapar juga mengalami peningkatan cukup berarti dalam beberapa waktu terakhir ini. Kondisi ini sungguh ironis mengingat status Indonesia sebagai negara agraris. Daerah-daerah tertentu juga mengalami surplus produksi pangan.
Busung lapar dan gizi buruk disebabkan oleh kekurangan energi dan protein. Ini akibat mayoritas masyarakat tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan makannya walau sekadar sumber karbohidrat (nasi, jagung, singkong, dsb), apalagi sumber protein. Banyak rakyat negeri ini yang sangat susah walau hanya sekadar untuk bisa makan nasi dua kali sehari. Daging –sebagai salah satu sumber protein- mungkin hanya setahun sekali mereka nikmati saat Hari Raya Qurban. Inilah potret kualitas hidup mayoritas rakyat negeri yang kaya-raya ini. Sungguh ironis!
Kekurangan gizi itu akan menyebabkan otak anak tidak berkembang optimal. Mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk masa depan. Mereka hanya akan digolongkan sebagai sumberdaya manusia bermutu rendah, yang akan dipandang tidak lebih sebagai beban daripada sebagai aset bagi masa depan negeri ini. Mereka kelak juga kehilangan kemampuan untuk memberikan makanan yang cukup kuantitas dan gizinya kepada anak-anak mereka. Artinya, mereka dan anak keturunannya akan cenderung terus terperangkap dalam masalah yang sama.
Akibat Salah Sistem dan Salah Kelola
Negeri ini sebenarnya kaya-raya. Namun sayang, sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini tidak mendistribusikan/menyalurkan kekayaan itu kepada setiap warganya. Sistem ekonomi kapitalis ini justru mengakibatkan sebagian besar kekayaan dimonopoli oleh sebagian kecil orang. Kurang dari 20% rakyat menguasai 80% kekayaan negeri ini. Sebaliknya, 80% rakyat justru memperebutkan 20% kekayaan negeri ini. Realita ini akan terus seperti ini, bahkan bisa lebih buruk lagi.
Dalam sistem ini, mereka yang miskin akan tetap miskin. Mereka yang sedikit di atas batas kemiskinan akan terjatuh menjadi miskin akibat proses pemiskinan struktural dan sistemik. Sebaliknya, mereka yang kaya akan tetap kaya. Sebab, sistem ekonomi kapitalis hanya memfokuskan pada pertumbuhan; itu pun pertumbuhan semu, karena ekonomi non-ril menjadi andalan dalam indikator pertumbuhan ekonomi. Sistem ini tidak mempedulikan mekanisme pendistribusian kekayaan di tengah-tengah rakyat.
Sistem ekonomi seperti itu masih diperburuk dengan sistem politik pragmatis dan oputurnistik yang diterapkan di negeri ini. Sistem politik demokrasi tidak lain adalah sebuah industri politik. Sistem politik yang ada ditegakkan di atas prinsip bahwa politik adalah pengelolaan kekuasaan. Fokusnya adalah bagaimana mengelola kekuasaan. Di atas prinsip dan dalam lingkungan industri politik demokrasi itu, yang bisa masuk ke dalam 'pasar politik' hanyalah mereka yang memiliki daya tawar. Mereka tidak lain adalah pihak yang memiliki modal/uang atau orang-orang yang dekat dengan/bekerja demi kepentingan pemilik modal.
Pembuatan hukum dan perundang-undangan juga akan sangat dipengaruhi kepentingan para pemodal. Rakyat tidak mungkin seluruhnya terlibat langsung. Dalam sistem demokrasi, UU dan hukum dibuat di parlemen. Namun sebenarnya, tidak semua anggota parlemen terlibat sejak awal dalam pembahasan RUU. Biasanya akan dibentuk komisi atau Pansus untuk membuat RUU. Akhirnya, RUU dibuat oleh sejumlah orang atau segelintir ahli hukum, tentu saja yang telah dilobi oleh sejumlah kepentingan; atau bahkan dibuatkan pihak asing.
Pada akhirnya, yang menentukan adalah pihak yang mampu membiayai pembentukan opini di masyarakat melalui media masa; mengorbitkan tokoh agar ucapannya selalu dikutip; membiayai berbagai LSM bahkan partai politik; serta pihak yang mampu melakukan lobi yang intensif, jika perlu memfasilitasi (menyuap) semua pihak. Mereka tidak lain adalah para pemodal/kapitalis. Pada gilirannya, akan banyak lahir undang-undang dan peraturan yang diarahkan demi kepentingan para kapitalis ini. Lebih jauh, akan banyak lahir kebijakan yang tidak memihak kepentingan rakyat luas, tetapi lebih memihak para kapitalis.
Banyak kebijakan Pemerintah selama ini juga tidak memihak pada kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada kepentingan para kapitalis; seperti pengurangan bahkan pencabutan subsidi, privatisasi BUMN, pengucuran BLBI dan rekapitulasi perbankan, penyerahan infrastruktur ke swasta, dsb.
Subsidi terus dikurangi, bahkan subsisi BBM sudah dicabut. Ironinya, dana BLBI dan penyelamatan perbankan yang mencapai ratusan triliun raib begitu saja dan hanya dianggap sebagai biaya krisis. Walhasil, jika untuk para kapitalis Pemerintah terkesan begitu 'dermawan', sebaliknya untuk rakyat Pemerintah terkesan begitu 'pelit'.
Walhasil, adanya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain akibat kemiskinan menunjukkan bahwa Pemerintah telah gagal memenuhi kebutuhan dan hak dasar minimum rakyat: pangan dan kesehatan. Negeri ini telah salah kelola. Bahkan hal itu menunjukkan bobroknya sistem ekonomi dan sistem politik negeri ini. Jadi, berbagai kasus itu muncul karena sistem yang salah dan juga pengelolaan yang juga salah.
Pandangan Islam
Berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam sangat memperhatikan masalah pendistribusian kekayaan dalam masyarakat. Sistem Islam memiliki serangkaian hukum yang akan mewujudkan terdistribusinya kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Dengan itu, setiap orang akan dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka. Jika ada di antara mereka yang tetap tidak mampu, maka sistem Islam memiliki hukum-hukum untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok mereka, di antaranya hukum zakat, i’thâ’ ad-dawlah (subsidi negara), kewajiban nafkah, hukum-hukum tentang Baitul Mal, dsb. Islam bahkan menetapkan kesehatan dan pendidikan sebagai kebutuhan pokok seluruh rakyat yang pemenuhannya menjadi kewajiban negara.
Islam telah menetapkan bahwa fungsi dan peran pemerintah (penguasa) adalah menjamin terpeliharanya kemaslahatan dan kepentingan rakyat.
Kita mendapati dalam sejarah bagaimana perhatian para penguasa Islam terhadap kesehatan rakyat sangatlah besar. Rasulullah saw. sendiri menjamin kesehatan rakyatnya; beliau membangun tempat berobat dan biaya pengobatan diambil dari Baitul Mal. Khalifah Umar bin al-Khaththab juga segera mengucurkan dana dari Baitul Mal untuk menanggulangi penyakit lepra di daerah Syam. Bani ibn Thulun di Mesir membangun masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat dan lemari untuk menyimpan obat, juga ahli pengobatan untuk memberikan pengobatan secara gratis. Khilafah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah juga banyak membangun rumah sakit. Pelayanan kesehatan diberikan cuma-cuma. Bahkan pada masa Kekhalifahan Abbasiyahlah istilah rumah sakit keliling pertama kali dipopulerkan. Di samping itu, penguasa Islam juga senantiasa menjamin pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, baik kuantitas maupun kualitas gizinya.
Walhasil, hanya sistem Islamlah yang akan mampu mendatangkan kemaslahatan dan kehidupan yang baik bagi seluruh individu rakyat, Muslim maupun non-Muslim. Karena itu, seyogyanya setiap Muslim saat ini bekerja keras, berpikir cerdas, dan ikhlas memperjuangkan terwujudnya sistem Islam. Sistem Islam itulah yang akan melahirkan penguasa yang amanah, peduli rakyat, cakap, profesional, bekerja keras, berpikir cerdas, dan ikhlas mengurusi kemaslahatan umat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh:Rosita
*)Mahasiswi politeknik Negeri Banjarmasin