GUNAKANLAH VERSI DESKTOP AGAR MAXSIMAL
... ... ...

PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN PERSPEKTIF ISLAM


Dalam Undang-Undang Pemilu tahun 2004 pada pasal 65 memuat 30 persen angka politik perempuan. Masing-masing partai peserta pemilu harus memenuhi kuota tersebut. Namun upaya membawa perempuan ke panggung politik melalui justifikasi UU bukan tanpa kritik dari pihak lain. (Menurut Budi Suryadi Dosen FISIP Unlam dalam B.Post 31/3/2008). Mengapa hal ini menuai kritik? Ataukah memang perlu untuk dikritisi?

Mengkritisi Pemberdayaan Politik Perempuan saat ini

Gambaran pemberdayaan politik perempuan saat ini di dominasi oleh gambaran versi feminis. Penetapan kuota minimal 30% perempuan untuk kepengurusan parpol dalam UU Pemilu tentu saja sangat menggembirakan para feminis. Karena merekalah yang getol menuntut hal tersebut. Menurut kaum feminis akar permasalahan-permasalahan perempuan adalah ketidakadilan gender. Untuk menyelesaikan masalah ini perempuan perlu mendapat kebebasan menentukan kebijakan yang berkaitan dengan perempuan.

Dalam pandangan feminis gambaran masyarakat yang ideal adalah masyarakat dengan kesetaraan gender. Masyarakat seperti ini yaitu sebuah masyarakat dimana laki-laki dan perempuan diberi kesempatan sama- tanpa ada hambatan gender- untuk berpartisipasi secara sukarela dalam aktivitas-aktivitas di semua aspek (domestik atau publik), sebagai mitra sejajar. Disamping itu, bersama-sama bertanggung jawab dan tidak ada halangan untuk menikmati hasil-hasil di bidang politik,ekonomi, sosial dan budaya.

Prinsip kesetaraan gender yang mewarnai semangat ‘para pejuang hak-hak perempuan’ tersebut menggiring mereka untuk menjaadikan target utama perjuangan politik mereka adalah mencapai ‘posisi penentu kebijakan’. Ketika kaum feminis melihat adanya ketidakadilan terhadap perempuan, mereka beranggapan itu terjadi karena masyarakat saat ini kurang kapitalis, terbukti kaum perempuan belum benar-benar dianggap setara dengan laki-laki dan belum bebas menentukan pilihan hidupnya.

Mereka lupa, sekarang pun penyelesaian masalah yang mereka ajukan (misalnya tuntutan kuota 30% perempuan di parlemen) hanya akan menyelesaikan masalah segelintir perempuan. Dan sampai kapanpun masyarakat egaliter yang mereka bayangkan itu hanya akan menyelesaikan masalah sebagian perempuan. Seberapa luasnya kesempatan bersaing yang diberikan, sebagaimana laki-laki, namun faktanya ada perempuan yang kuat, ada juga perempuan yang lemah. Perempuan yang kuat bisa sejahtera dalam masyarakat itu, tapi bagaimana dengan perempuan yang lemah?Siapa yang melindungi kaum yang lemah?(Baik laki-laki maupun perempuan).

Pemberdayaan Politik Perempuan Perspektif Islam

Upaya pemberdayaan politik perempuan di dalam Islam tidak terlepas dari upaya pemberdayaan politik anggota masyarakat secara keseluruhan. Visi yang dipakai haruslah sama. Upaya pemberdayaan politik perempuan harus mengacu pada upaya yang harus diperjuangkan kaum muslimin untuk meraih kembali kemuliaannya – sebagai umat terbaik. Kemudian harus mengacu pula kepada makna politik sesungguhnya yakni mengurusi urusan umat dengan Islam.

Adapun aktivitas politik yang boleh digeluti oleh perempuan antara lain ; melakukan aktivitas politik dalam partai politik dan menasehati atau mengoreksi penguasa. Perempuan dalam partai politik dapat saja menasehati penguasa. Namun aktivitasnya yang lebih menonjol adalah aktivitas membina kesadaran politik kaum perempuan. Perempuan adalah tiang negara, jika perempuan buta politik maka Negara akan lemah. Sebaliknya jika kaum perempuan memiliki kesadaran politik yang tinggi maka negara akan kuat.

Walaupun boleh beraktivitas di bidang politik namun ada rambu-rambu yang harus dipegang oleh perempuan (muslimah) ketika berpolitik yaitu tidak boleh menjadi kepala Negara. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw yang berbunyi :“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusan (kekuasaan pemerintahan)-nya diserahkan kepada seorang perempuan.”

Memang perempuan dilarang menduduki posisi pemengang wewenang kekuasaan, termasuk posisi puncak pengambil kebijakan.Tetapi bukan berarti derajatnya menjadi lebih rendah. Karena tinggi rendahnya derajat perempuan di hadapan Allah tergantung pada terlaksana tidaknya tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kapadanya. Dengan perempuan tidak terjun ke posisi pemengang kekuasaan, akan menjamin terlaksananya peran utamanya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang tidak kalah pentingnya. Lahirnya generasi berkualitas sebagai calon pemimpin tergantung pada terlaksananya peran utama ini.

Oleh karena itu para muslimah terutama kaum ibu, hendaknya memahami betul tugas dan tanggungjawabnya sebagai muslimah yang sholihah, baik tugas sebagai hamba Allah, tugas dalam keluarga, maupun tugas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam menunaikan semua tugas tersebut senantiasa memperhatikan prinsip ‘prioritas’ (memilih mana yang lebih utama untuk didahulukan), sehingga semuanya dapat berjalan dengan baik. Dengan terlaksananya semua tugas muslimah baik di ranah domestik dan peran politiknya di masyarakat akan membantu tercapainya kehidupan yang lebih baik (kehidupan islami) yang akan memuliakan perempuan dan memberikan solusi tuntas atas krisis multidimensi dan segenap problematika di masyarakat. Wallahu’alam bi ash-shawab

Oleh : Afifah Ummu Hafidz

Aktifis HTI Kal-Sel

Mungkin Juga Anda Suka

Previous
Next Post »